BABAK kesuraman hidup itu dimulai ketika pimpinan negara menumpas gerombolan Partai Komunis Indonesia (PKI) paska tragedi terbunuhnya sejumlah jenderal TNI pada September 1965. Seluruh warga di seantero nusantara yang dicurigai menjadi antek komunis ditangkapi dan dijebloskan ke penjara. Ratusan ribu warga yang tersebar dari Aceh hingga Papua disapu bersih.
Di Sulawesi Tengah, gerakan penumpasan itu pun tak luput. Ribuan warga dipaksa menghuni penjara-penjara sempit tanpa proses peradilan. Mereka yang tidak kebagian tempat di penjara militer, dipenjarakan di rumah-rumah dan barak-barak dengan atribut Tahanan Politik (Tapol).
Kerja paksa menjadi aktivitas rutin para Tapol itu selama dalam tahanan yang rata-rata dibebaskan bersyarat setelah 15 tahun kemudian atau pada 1980. Infrastruktur berupa jalan, jembatan dan bangunan yang hingga kini masih berdiri kokoh menjadi saksi bisu tetesan keringat dan darah para Tapol itu.
Derita tidak selesai sampai pada pemenjaaran dan kerja paksa itu. Keluarga para Tapol pun mendapat sanksi sosial dari lingkungannya. Stigma sebagai antek PKI begitu kuat disandangkan kepada keluarganya yang berujung pada perlakuan yang diskriminatif.
Data yang dikeluarkan oleh Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP HAM) Sulawesi Tengah menyebutkan, ribuan warga Sulawesi Tengah menjadi korban. Mereka dipisahkan dengan keluarganya, dipenjara dan lalu dipekerjakan secara paksa untuk membangun berbagai infrastruktur.
Efek traumatis dari kejadian itu masih terasa hingga saat ini. Saksi hidup atas pelanggaran HAM itu masih dapat dijumpai di hampir semua wilayah di Sulawesi Tengah. Ribuan korban itu merasakannya, tak terhitung pula efek yang terasa bagi keluarganya. Banyak pihak yang tersentak dengan kejadian pilu itu. Tak sedikit pula pihak yang berusaha “Menolak Lupa” atas kejadian traumatis itu.
Pemerintah Kota Palu adalah satu-satunya pemerintahan daerah di Indonesia yang secara terbuka menyatakan permintaan maafnya atas kejadian itu dan mengakuinya sebagai pelanggaran HAM. Lebih dari itu, Pemerintah Kota Palu bahkan telah membuat sebuah Peraturan Daerah (Perda) untuk me-recovery penderitaan yang dialami oleh para korban dalam bentuk program sosial dan pemberdayaan.
Dibalik derita yang dialami, ada secercah optimisme keceriaan menjalani sisa-sisa hidup para bekas Tapol dari kata maaf yang terlontar dari pemerintah daerah itu. “Cukup sudah, jangan sampai ada lagi diskriminasi pada generasi sepeninggal kami,” pinta Asman Yojodolo, salah seorang bekas Tapol yang terpenjara dan terpekerjapaksa selama 15 tahun. ***
Naskah dan Foto: Basri Marzuki