PUKUL 02.00 Wita, Aco – demikian ia disapa, sudah siap dengan pisaunya yang diselipkan di pinggang. Kacak pinggangnya tak kalah dengan jagal sapi lainnya di Rumah Potong Hewan (RPH) Tavanjuka, Palu, Sulawesi Tengah yang usianya rata-rata di atas 40-an tahun.
Aco kini usianya memasuki 10 tahun, duduk di bangku kelas IV SDN Tavanjuka. Meski ia masih sangat belia untuk berurusan dengan merahnya darah sapi atau bertarung dengan kencangnya tendangan sapi yang akan disembelih, namun pekerjaan itu harus dilakoninya.
Ayahnya yang tukang kayu lumpuh sejak dua tahun terakhir akibat stroke. Ibunya tidak punya keterampilan yang bisa dibanggakan untuk menggantikan posisi ayahnya sebagai pencari nafkah. Sementara itu, empat kakak kandungnya harus berjuang pula mempertahankan hidup. Tak hanya itu, empat adiknya yang lain pun harus bertaruh agar tetap bisa mendapatkan makanan setiap harinya.
Bersama pekerja lainnya, Aco menarik tali yang menjuntai di leher sapi yang akan disembelih. Tatkala sapi itu rebah, ia buru-buru mengikat kaki sapi tersebut sekencang mungkin lalu melepasnya kembali ketika sapi itu tak bergerak lagi, pertanda sudah mati.
Kaki-kaki Aco kokoh mencengkeram lantai semen yang licin dipenuhi dengan kotoran sapi bercampur darah segar. Jemarinya lincah memainkan pisau tajamnya menguliti sapi tersebut. Hingga semuanya tuntas, hingga seluruh daging-daging sapi itu dikumpulkan buat juragan sapi, maka berikutnya giliran Aco bekerja sendiri.
Kulit sapi yang beratnya mencapai 30 kilogram ditariknya ke tempat yang lebih lapang. Pisaunya yang tajam dihunuskan, lalu Ia memulai memisahkan sisa-sisa daging yang melekat di kulit sapi tersebut. Aco menyisir semua daging yang tersisa tersebut. Dikumpulkan sedikit demi sedikit hingga bersih. Hasilnya bisa mencapai satu kilogram, dan itu menjadi miliknya.
Satu kilogram sisa-sisa daging dari kulit sapi tersebut disimpannya dalam kantong kresek hingga pedagang siomay datang membelinya. Harganya sebesar Rp30.000 per kilogram.
Saban malam, demikianlah Aco melakoni pekerjaan itu. Duit Rp30.000 yang dikantonginya tidak dihabiskan sendiri. Sebagian untuk keperluan sekolahnya dan sebagian lagi untuk membantu keuangan keluarganya.
Walau bekerja saat dinihari dan harus sekolah pada pagi harinya, Aco mengaku tidak terganggu. Ia merasa sudah terbiasa dengan pola hidup seperti itu. Bagaimana tidak, sedari dua tahun lalu ia sudah ditempa menjalani hidup seperti itu.
“Dari mana kami dapat uang untuk sekolah, bagaimana kami bisa beli baju lebaran kalau tidak bekerja begitu,” ucap Aco lirih.***
Naskah dan foto: Basri Marzuki