UNTUK pria seumurnya, ia terbilang masih cukup fit. Tuas kakinya masih kokoh menopang berat badannya berdiri hingga berjam-jam. Jari jemarinya masih lentik untuk menekan kodok pemangkas rambut dan gunting serta sisir. Ia bahkan bergerak kesana kemari, mengeker dan mengukur keseimbangan dan keharmonisan rambut pelanggannya.
Dialah La Haku, pria kelahiran 1936 ini masih kuat menggeluti profesinya sebagai tukang gunting rambut tradisional hingga sekarang. Ia tak mengeluh dengan gelarnya sebagai tukang gunting rambut yang dilakoninya sejak 36 tahun lalu. Justeru ada kebanggaan yang tersirat di wajah keriputnya karena lantaran itu ia bisa menghidupi keluarganya.
Jangan ditanya soal pengalaman ataupun suka duka menggunting rambut. Semua cerita sedih, gembira dan bahkan cerita menggelikan sudah dilaluinya, tak terkecuali ketika menggunting rambut Bandjela Paliudju muda yang kemudian menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Tengah selama dua periode.
Karakter pribadinya yang luwes menjadikannya dikenal dan disukai banyak orang. Tak heran jika pelanggannya rela menunda memotong rambutnya jika La Haku kebetulan tidak sedang bekerja. Di kalangan sesama tukang gunting rambutpun sosoknya cukup dihormati. Tak hanya ukuran senioritas, tutur katanya yang bijak membuatnya disegani.
36 tahun menggunting rambut di bawah tenda plastik bukanlah waktu yang singkat. Pasar Bambaru yang kini lebih populer disebut Pasar Tua menjadi saksi bisu ketika pertama kali ia memulai profesi itu. Ia hengkang dari pasar yang mulai ditinggalkan itu sejalan dengan berdirinya Pasar Manonda yang lebih modern. Namun meski lebih modern, tempatnya tetap di tenda.
Entah sampai kapan La Haku terus menggunting rambut. Bisa jadi hingga tidak ada lagi kepala yang ingin digunting rambutnya atau mungkin ketika tidak atau lagi rambut yang bisa tumbuh di kepala. Bagi La Haku, kepala sangatlah berarti, karena dari kepala itulah ia hidup.
Naskah dan foto: Basri Marzuki