WAKTU masih menunjukkan pukul 07.00, tapi Ihsan (7) sudah muncul di depan pintu Sekolah Terpadu Permata Hati di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Itu adalah rutinitas Ihsan sejak dua tahun terakhir ini. Ia dideteksi menderita autis sejak berusia 9 bulan. Menu paginya sebelum belajar adalah dibujuk. Yah… Ihsan harus dibujuk oleh gurunya kerena ia tidak selalu siap untuk belajar.

Kerap kali guru harus bergulat di kelas, apalagi jika Ihsan benar-benar sedang tidak mood. Mengamuk sudah menjadi hal biasa dan kepiawaian guru sungguh dibutuhkan. Tak jarang Ihsan harus dibelai, tapi tak jarang pula kakinya harus dijepit oleh kedua kaki gurunya jika tetap saja tidak bisa tenang.

Gejala umum yang dihadapi anak penderita autis adalah sulitnya berkonsentrasi terhadap suatu hal. Ia memiliki dunianya sendiri. Kelainan neurobiologis yang dibawanya sejak lahir memisahkannya dengan dunia luar.

Ihsan memiliki karakter yang berbeda dengan kebanyakan penderita autis lainnya. Ia begitu menggandrungi musik, suatu karakter yang sangat langka. Musik adalah dunianya, dan semuanya harus terbangun dengan dunia yang ada di kepalanya itu.

Suatu kali, ia diminta gurunya menuliskan kata “kursi”, tapi yang ditulisnya justru kata “Bon Jovi, Backstreet, Westlife”. Suatu kali pula ia diminta menyebutkan benda-benda yang ada di depannya, tapi justru senandung “Akhirnya Aku Menemukanmu” milik Naff yang meluncur dari bibirnya.

“Tak seorang pun orang tua yang menghendaki hal ini, tapi jika itu menimpa, kita tak boleh berputus asa atau menyalahkan siapa-siapa. Yang harus kita lakukan adalah mengenali kebutuhannya dan membantunya,” kata Ir Fitriani Kartawan MSi, pimpinan Sekolah Terpadu Permata Hati.

Gejala umum yang dapat dikenali pada anak autis seperti ini antara lain; senang membenturkan kepalanya sendiri jika sedang marah, sulit mengartikulasikan kata-kata, sulit berkonsentrasi pada suatu hal yang tidak disenangi. “Kadang juga jika dipanggil, ia seolah tidak mendengarkan, atu mendengar tapi tak beranjak dari tempatnya,” ungkap Fitriani.

Tapi Ihsan masih beruntung dibanding banyak anak penderita autis lainnya. Orang tuanya sangat menyadari kebutuhan khusus bagi anaknya. Sekolah terapi adalah sarana untuk membantu Ihsan memahami bahwa ada dunia luar selain dirinya. Pengertian yang mendalam untuk membantunya terus ditunjukkan. Di lingkungan rumah, Ihsan nyaris tak berbeda dengan anak-anak sebayanya.

Orang tua Ihsan bersyukur, melalui terapi khusus itu, lambat tapi pasti ia mulai menyadari dunia luar tersebut. Ihsan mulai paham makna lingkungan dan keteraturan yang ada di dalamnya.

Naskah dan Foto: Basri Marzuki