PANAS yang membakar kulit tak menghalangi para penambang emas tradisional di Dusun Vatutempa, Kelurahan Poboya, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah  untuk terus mengayungkan martil atau memahat bebatuan cadas. Bagi para penambang yang berasal dari berbagai daerah di Sulawesi bahkan ada yang datang dari luar pulau itu, emas memilik daya tarik tersendiri yang sulit dihindari ketika silaunya menerpa mata dan nilainya yang menebalkan kantong.

Ribuan warga datang berduyun-duyun mengeruk emas di wilayah tersebut. Menurut data yang dirilis oleh Dinas Pertambangan setempat, kandungan emas yang terdapat wilayah yang sebelumnya sudah dikontrakkan kepada pemodal asing itu bisa mencapai ribuan ton yang terpendam dalam bebatuan di bukit-bukit cadas.

Tak kurang dari sekitar 45 hektar lahan yang masuk dalam kawasan konservasi Taman Hutan Rakyat itu kini meranggas akibat penggalian dan pemahatan gunung-gunung batu di dalamnya. Ratusan kilogram cairan kimia tertumpah akibat proses penangkapan emas melalui penggilingan-penggilaingan warga.

Penelitian yang dilakukan oleh individu dan Dinas Kesehatan setempat tiga tahun terakhir menyebutkan, kawasan itu telah tercemari kandungan kimia Sianida dan Mercury yang sudah di ambang batas. Bahkan penelitian terakhir menyebutkan, udang kecil yang ditangkap nelayan di sekitar pantai Teluk Palu yang menjadi pembuangan limbah pengolahan emas itu, kini telah terkontaminasi zat mematikan itu.

Ini juga menjadi peringatan serius bagi warga yang bermukim di sekitarnya, karena suplai air bersih bagi penduduk di ibukota Palu berasal dari kawasan tersebut.

Kini, meski pemerintah daerah setempat menyadari dampak lingkungan dari pertambangan emas rakyat itu, namun aktivitas pertambangan masih tetap berjalan. Kilau emas telah membutakan mata-mata para pengambil kebijakan akan kelansungan hidup anak cucu mereka nantinya. ***

Naskah dan Foto: Basri marzuki