BIBIR Pak Ahmad sumringah ketika kami tiba di dermaga Pulau Pasoso. Pulau ini terletak di selat Makassar yang dapat dijangkau sekitar 40 mil laut dari desa labean kabupaten donggala, Sulawesi tengah atau dengan jarak tempuh 3 jam dengan perahu motor 4 tenaga kuda. Anak-anaknya yang masih kecil-kecil berlarian ke dermaga melihat kedatangan kami. Tatapan anak-anak itu sangat tajam, sesuatu yang aneh dilhat pada diri-diri kami. Tatapan tu beralasan karena selama ini keluarga Pak Ahmad sehari-hari hanya mengitari pulau dengan luas tidak lebih dari 64 hektar itu.

Pak Ahmad adalah sentral kekuasaan di pulau yang hanya dihuni keluarga besarnya itu. Seorang istri, 15 orang anak dengan rentang usia tertua berusia 26 tahun dan termuda 2 bulan, plus tiga menantu dan 5 cucu adalah wajah-wajah yang berada dalam distrik kekuasaannya. Pak Ahmad menjadi raja bagi pulau itu, menjadi pengawas bagi kelangsungan hidup sejumlah spesies dan lebih jauh lagi menjadi decision maker bagi setiap persoalan yang muncul ditengahnya.

Sejak turun temurun Pak Ahmad mendiami pulau tempat bertelurnya penyu hijau yang langka itu. Keberadaanya tidak digugat pemerintah setempat karena dia punya andil dalam pelestarian lingkungan sekitarnya. Ia sangat berperan bagi pelarangan nelayan menangkap ikan menggunakan media peledak atau bom, ia pula mengelilingi pulau setiap hari kalau-kalau ada yang merusak terumbu karang di sekitarnya.

Suatu hari yang lampau, Pak Ahmad bahkan menjadi pioneer dalam usaha pelestarian penyu hijau. Ia menjadi sosok penyelamat setelah menangkarkan bayi-bayi penyu hijau sebelum di lepas ke laut bebas. Ribuan ekor bayi penyu berenang dengan riang ketika usia bertahannya dicapai dan dapat mempertahankan diri dari ganasnya hukum rimba yang berlaku di laut bebas.

Kini dalam keterbatasan dan gerogotan usia, pak Ahmad beserta keluarganya tetap bertahan di pulau yang kerap menjadi persinggahan bagi nelayan lainnya yang kemalaman mencari ikan di laut. Sumberdaya yang ada disekitarnya dikelola berdasarkan kearifan local yang dipercayainya. Anak-anaknya pun tumbuh bersama alam laut. Sayangnya, tak satupun dari 15 anaknya yang bisa mengecap nikmatnya pendidikan formal.

Pak Ahmad terus bertahan dalam hembusan angin laut. Mampukah dia bertahan di tengah gemerlapnya kemajuan teknologi di pulau seberang sana? Hingga saat ini Pak Ahmad masih terus bertaruh.***

Naskah dan Foto: Basri Marzuki